LUGAS.CO | Krisis iklim yang kian memburuk serta pentingnya keterlibatan business dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuat perusahaan harus merubah penggunaan Corporate Social Responsibility (CSR) gaya lama yang cenderung digunakan sebagai ajang pencitraan menjadi program berkelanjutan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan, sering dijadikan sebagai ajang ‘cari muka’ para pelaku bisnis untuk memperoleh citra baik. Bukan tanpa sebab, stigma ini muncul sebagai akibat dari perusahaan yang menjadikan CSR semata-mata sebagai bagian dari ajang pemasaran dan promosi dengan memanfaatkan kondisi sosial dan lingkungan masyarakat.
Dicetuskannya konsep Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati oleh semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 25 September 2015, seharusnya menjadi ajang perubahan bagi business yang betul-betul ingin terlibat dalam menjaga lingkungan dan membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.
SDGs bertujuan mengatasi berbagai tantangan global, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial juga permasalahan iklim yang kian memburuk. Adanya SDGs diharapkan bisa meningkatkan keterlibatan para pemangku kepentingan dalam menjaga lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Lalu apa peran perusahaan dengan konsep SDGs ini? SDGs memiliki 17 tujuan yang spesifik, dan perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menyukseskan salah satunya. Salah satu poinnya adalah tentang krisis iklim, maka perusahaan memiliki tanggung jawab dalam melaporkan pada pemerintah mengenai apa yang sudah mereka lakukan sebagai bagian dari upaya mereduksi dampak dari aktivitas industri yang memperburuk keadaan tersebut.
CSR secara sederhana dapat kita gambarkan sebagai program satu arah seperti bantuan bencana alam, atau program sekali jalan lainnya yang keberlanjutannya tak begitu diperhatikan. Berbeda dengan sustainable development yang memastikan keberlanjutan program yang dijalankan terlaksana dengan baik.
Program berkelanjutan memiliki tujuan yang lebih kompleks daripada CSR gaya lama, dalam konsep program keberlanjutan ada hal yang mesti diawasi dan dievaluasi hingga pelaksanaannya dapat mewujudkan perubahan yang lebih baik untuk kepentingan alam dan masyarakat.
Sustainability Program Membutuhkan Riset
Menjalankan sustainability program membutuhkan riset, perusahaan tidak dapat menjalankan program tanpa benar-benar mengetahui apa yang akan mereka lakukan, dan apa yang akan mereka hadapi.
Perencanaan wajib dilaksanakan mulai dari membuat naskah akademik, goals yang ingin dicapai, riset lingkungan yang akan menjadi sasaran program, dan bagaimana cara melaksanakan program hingga tahap evaluasi.
Kita ambil contoh jika sebuah business ingin meluncurkan program olah sampah rumah tangga untuk mengurangi pencemaran lingkungan, mereka terlebih dahulu harus memperhatikan bagaimana awareness masyarakat terhadap sampah rumah tangga yang menyumbang hampir 50 persen dari total sampah yang ada. Setelah itu perlu dilihat juga bagaimana keterbukaan masyarakat dalam menerima program yang ingin dijalankan, bagaimana kebiasaan masyarakat dalam memilah sampah rumah tangga, hingga fasilitas yang ada di lingkungan dan sebagainya. Tanpa mengetahui itu semua, program berkelanjutan yang berdampak nyata akan sulit dicapai oleh perusahaan.
Business Harus Melaporkan Program SDGs Mereka Pada Pemerintah
Menjalankan sustainability program tentu tidak sesederhana memberikan bantuan dana yang kemudian selesai begitu saja, tanpa dapat mempertanggungjawabkan keberlanjutannya, khususnya dampak terhadap masyarakat. Penelitian dari Heras-Saizarbitoria (2022) menjelaskan bahwa sebagian besar business menunjukkan keterlibatan SDGs yang dangkal hingga mengindikasikan adanya praktik yang dikenal dengan istilah SDGs Washing.
SDGs washing merupakan kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan dalam membuat klaim palsu terhadap apa yang sudah mereka lakukan sebagai bentuk kontribusi dalam SDGs. Hal ini dilakukan semata hanya untuk meningkatkan citra di masyarakat.
Apakah hal ini berbahaya? Tentu saja, apalagi bagi masyarakat. Dapat kita buat permisalan ketika ada perusahaan kosmetik menyatakan produknya dibuat tanpa bahan kimia berbahaya bagi manusia dan lingkungan, namun pada kenyataannya tidak. Apa kira-kira yang akan terjadi? Yang pasti, pengguna kosmetik tersebut terancam bahaya terpapar zat kimia berbahaya, sementara limbahnya akan merusak lingkungan.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, butuh komitmen dan keterbukaan dari Industri untuk membuat laporan perkembangan pelaksanaan program SDGs yang dilaksanakan, sehingga tak sekedar menjadi klaim sepihak saja. Pelaporan SDGs sendiri merupakan suatu dokumen penting yang akan menjadi alat komunikasi para pelaku usaha kepada pemerintah juga masyarakat mengenai kemajuan dalam pelaksanaan SDGs.
SDGs adalah Upaya Kolektif
Kami yakin banyak perusahaan yang sadar pentingnya SDGs serta kewajiban mereka untuk menjadi bagian dari program tersebut. Akan tetapi belum semuanya memiliki tim dengan pengalaman dalam melakukan penelitian, perencanaan dan pelaksanaan program yang tepat. Apalagi untuk membuat laporan yang dirasa cukup sulit, hal-hal seperti inilah yang memicu tindakan SDGs washing sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
Ketika business diwajibkan untuk melaksanakan SDGs oleh pemerintah, sementara mereka belum sepenuhnya siap untuk menjalankan hal tersebut secara mandiri. Maka perusahaan yang kewalahan akan memilih untuk mencari jalan pintas yang tak jarang akan merugikan perusahaan itu sendiri.
Sebenarnya di Indonesia sudah banyak lembaga yang siap memberikan support pada perusahaan yang ingin berperan serta dalam SDGs. Tugas perusahaan cukup melakukan riset terhadap pihak ketiga yang ingin mereka ajak bekerja sama dalam pelaksanaan program, tentunya dengan memperhatikan latar belakang dan portofolio pihak yang akan dijadikan mitra.
Kerja sama kolektif seperti ini justru memberi perusahaan kesempatan untuk tetap berfokus pada lini bisnis utamanya, sementara untuk program SDGs nya dapat di-handle oleh pihak ketiga yang ditunjuk sebagai program implementator. []