Manusia dalam menjalani kehidupannya pasti memiliki tujuan dan setiap tujuan pasti ada hikmahnya. Dalam kitab suci Al-Qur’an, dengan tegas Allah menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan menjadi khalifah (utusan) di muka bumi.
Kata beribadah mengandung dimensi vertikal yaitu Hablum Minallah (hubungan manusia dengan Allah), sedangkan kata khalifah mengandung dimensi horizontal yaitu Hablum Minannas (hubungan manusia dengan manusia).
Seorang Guru Sufi ditanya tentang dua keadaan manusia. Pertama manusia yang rajin sekali ibadahnya, namun sombong, angkuh dan selalu merasa suci. Kedua manusia yang sangat jarang ibadah, namun akhlaknya begitu mulia, rendah hati, santun, lembut dan cinta dengan sesama. “Mana yang lebih baik ya, Syekh?”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lalu Sang Guru Sufi menjawab, “Keduanya baik. Boleh jadi suatu saat si ahli ibadah yang sombong menemukan kesadaran tentang akhlaknya yang buruk dan dia bertaubat lalu ia akan menjadi pribadi yang baik lahir dan batinnya. Dan yang kedua bisa jadi sebab kebaikan hatinya, Allah akan menurunkan hidayah lalu ia menjadi ahli ibadah yang juga memiliki kebaikan lahir dan batin”.
Kemudian orang tersebut bertanya lagi, “Lalu siapa yang tidak baik kalau begitu?”.
Sang Guru Sufi menjawab, “Yang tidak baik adalah kita, orang ketiga yang selalu menilai dan mengkritik orang lain, namun lalai dari menilai diri sendiri.”
- Baca Juga : Penting, Inilah Ciri-ciri Mursyid Kamil Mukammil
Ini adalah tamparan bagi para manusia yang sering menilai orang lain namun lalai akan menilai dirinya sendiri atau intropeksi diri. Betapa banyaknya manusia yang membuang waktunya hanya sekedar menggunjing atau membicarakan keburukan orang lain. Ia lupa seakan-akan dirinya tidak pernah berbuat salah sama sekali.
Hal ini biasanya disebut dengan ghibah, bahasa kekiniannya itu gosip. Ini termasuk akhlak tercela yang tidak patut untuk diterapkan dalam kehidupan. Sebaiknya yang perlu diperbanyak adalah memperbanyak intropeksi diri dan bermuhasabah agar bisa menjadi manusia yang terbaik.
Kondisi yang terakhir adalah manusia yang rajin sekali ibadahnya serta memiliki akhlak yang begitu mulia, rendah hati, santun, lembut, dan cinta dengan sesama serta tidak membicarakan keburukan orang lain. Keadaan yang ke empat inilah keadaan manusia yang terbaik.
Artikel ini telah tayang di Jatman.or.id