Setiap kali momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berlangsung, para calon tentu akan menebar janji yang dibalut dengan visi-misi. Bahkan tidak jarang mereka menebar amplop.
” Perang” strategi antar kandidat dalam Pilkada dewasa ini, untuk menarik masyarakat menentukan pilihannya dipengahrui oleh seberapa besar satu pasang kandidat mampu menilai satu suara pemilih.
Nilai satu suara pemilih ini, bukan serta-merta lahir sendiri dari masyarakat, tetapi elit politiklah yang mengajarkan mereka mendapatkan ganjaran dari coblosan paku di bilik suara.
Persaingan nilai nominal satu saura pemilih oleh para kandidat, ini akan menarik para pemilik modal berinvestasi dalam Pilkada. Para kandadit akan mancari toke-toke untuk memodali mereka memdapatkan suara dari pemilih, tidak terkecuali toke sabu-sabu.
Toke sabu-sabu memiliki kepentingan besar dalam pemilihan kepala daerah untuk membersihkan uang hasil transaksi barang haramnya.
Praktik persaingan harga suara pemilih dalam Pilkada, selain merusak tatanan demokrasi, kemudian juga akan menuntun keberbagai jenis korupsi dan setiap kebijakan pemerintah disetir oleh modal. Betapa tidak, karena dia harus memikirkan cara bagaimana harus mencari keuntungan dari jabatannya untuk mengembalikan modal yang sudah keluar.
Maka tidak heran prkatek persaingan harga suara pemilih dalam Pilkada tersebut akhirnya melahirkan pemimpin yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Ini juga tidak menutup bagi kandidat yang dimotori serta didorong oleh teungku-teungku. Bahkan munafiknya lagi saat berkampanye membawa isu-isu agama. Lantas, apakah mereka iklas menghibahkan uang puluhan miliar tanpa balik modal ?
Jika ada sosok yang iklas mewakafkan diri bahkan harta seperti itu wajib kita pilih dan barang tentu daerah akan dibangun sebagai mana visi dan misi.
Pertanyaan yang harus dijawab oleh kita masing-masing apakah ada sosok seperti itu di daera kita?. Jawabannya bisa dipastikan, tidak.
Jika jawabannya adalah tidak ada, pilihan yang paling rendah dan baik adalah tidak munafik saja sudah cukup menjadi pemimpin.
Sebab bagaimana mungkin ia berlaku bijak pada setiap kebijakannya nanti, sementara dengan diri sendiri saja berani berbohong apalagi kepada masyarakat.
Penulis : Eks Lhok Makalam
BACA JUGA: Nyó-nyò Kon Nyak Syi