Belakangan ini, kasus kekerasan yang melibatkan oknum TNI terhadap masyarakat Aceh, baik di dalam maupun di luar daerah, kembali mencuat ke publik. Dari pembakaran seorang juru parkir di Monas hingga penculikan dan pembunuhan Imam Masykur, rentetan kejadian ini membuat kita bertanya-tanya: sampai kapan kekerasan semacam ini dibiarkan terjadi?
Bagi masyarakat Aceh, tindakan brutal seperti ini bukan sekadar tindak kriminal biasa. Ada trauma kolektif yang masih membekas akibat konflik berkepanjangan antara pemerintah pusat dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung selama puluhan tahun sebelum akhirnya damai pada 2005.
Selama masa konflik, banyak laporan mengenai operasi militer yang melibatkan kekerasan terhadap warga sipil. Penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan di luar hukum menjadi bagian dari keseharian masyarakat Aceh di bawah status Daerah Operasi Militer (DOM). Walaupun perjanjian damai Helsinki 2005 mengakhiri konflik secara resmi, luka akibat operasi militer masih membekas, terutama bagi keluarga korban yang belum mendapatkan keadilan.
Kini, ketika warga Aceh yang merantau ke luar daerah masih mengalami kekerasan oleh oknum aparat, trauma masa lalu itu seolah terbuka kembali. Masyarakat Aceh yang pernah merasakan kekerasan di tanah sendiri, kini juga terancam ketika berada di luar Aceh.
Pada 2014, Yusri, seorang juru parkir asal Aceh di kawasan Monas, Jakarta, dibakar hidup-hidup oleh Pratu Heri Ardiansyah, seorang anggota TNI AD. Penyebabnya sepele: masalah uang setoran parkir. Setelah tiga minggu berjuang melawan luka bakar, Yusri akhirnya meninggal. Pelaku memang dihukum dan dipecat, tapi pertanyaan besarnya: bagaimana mungkin seorang prajurit bisa melakukan tindakan keji seperti ini?
Agustus 2023, Imam Masykur, pemuda asal Aceh, diculik oleh tiga oknum TNI AD di Jakarta. Mereka menyamar sebagai polisi, meminta tebusan kepada keluarga korban, lalu menyiksa Imam hingga tewas. Kasus ini terungkap setelah keluarga korban menerima video penyiksaan yang dikirim oleh pelaku. Hukuman seumur hidup memang dijatuhkan, tapi kasus ini membuktikan bahwa ada masalah serius dalam sistem pengawasan internal TNI.
Kasus lain yang terjadi pada 2025 menunjukkan bahwa kekerasan oleh oknum aparat bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Di KM 45 Tol Merak, seorang bos rental mobil, Ilyas Abdurrahman tewas setelah menjadi korban pembunuhan yang diduga dilakukan oleh seorang prajurit TNI AL. Motifnya? Ingin menguasai mobil korban.
Baru-baru ini, di tempat lain, seorang sales mobil, Hasfani alias Imam, ditemukan tewas di kawasan Gunung Salak, Lhoksumawe, Aceh Utara setelah dibunuh oleh oknum TNI AL lainnya. Pelaku kemudian membawa kabur mobil Toyota Innova milik korban.
Sebagian orang mungkin berpikir, “Pelaku sudah dihukum, kenapa masih dibahas?” Tapi masalahnya bukan sekadar menghukum pelaku, melainkan bagaimana memastikan kejadian seperti ini tidak terus berulang.
Pihak TNI memang sudah menunjukkan ketegasan dalam menghukum anggotanya yang melanggar hukum, tetapi ini belum cukup. Harus ada evaluasi mendalam terhadap sistem rekrutmen, pelatihan, dan pengawasan di tubuh militer. Jika tindakan brutal seperti ini masih sering terjadi, berarti ada yang salah dalam sistemnya.
Lebih jauh, negara harus serius menangani trauma kolektif masyarakat Aceh. Luka masa lalu akibat konflik belum sepenuhnya pulih, dan kini warga Aceh kembali menjadi korban di tempat lain. Ini bukan sekadar soal individu, tapi tentang kepercayaan masyarakat terhadap negara dan aparat yang seharusnya melindungi, bukan malah menjadi ancaman.
TNI adalah institusi yang sangat penting bagi negeri ini. Reputasi dan kredibilitasnya harus dijaga. Dan cara terbaik untuk menjaga kredibilitas bukan dengan menutupi kesalahan, tetapi dengan melakukan perbaikan nyata dan transparan. Jika tidak, kepercayaan publik akan terus terkikis, dan itu lebih berbahaya daripada ancaman eksternal mana pun.
Jadi, ini bukan hanya soal menghukum mereka yang bersalah, tetapi soal bagaimana kita memastikan agar tragedi semacam ini tidak terjadi lagi. Jika tidak ada langkah serius untuk memperbaiki sistem, jangan heran jika kepercayaan terhadap institusi negara terus menurun.