Dua pejabat Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Suhendri dan Zulfikar baru saja divonis karena menilap dana yang sejatinya diperuntukkan bagi korban konflik. Keduanya divonis sembilan tahun penjara.
Mereka diduga korupsi pengadaan budi daya ikan dan pakan di Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dengan nilai Rp15,7 miliar.
Kasus korupsi bantuan konflik di Aceh adalah pengkhianatan terhadap sejarah dan amanah rakyat. Alih-alih membantu mereka yang telah kehilangan keluarga dan harta benda dalam perang berkepanjangan, para maling berdasi ini justru memperkaya diri sendiri.
Coba bayangkan: puluhan tahun rakyat Aceh hidup di bawah desingan peluru. Ada yang kehilangan rumah, ada yang kehilangan keluarga. Perang sudah usai, tapi penderitaan belum. Harusnya, uang bantuan itu jadi jembatan buat mereka yang dulu kena imbas konflik. Tapi, apa yang terjadi? Para pejabat malah ngutil di atas penderitaan orang lain.
Korupsi di Badan Reintegrasi Aceh (BRA) ini bukan cuma soal duit yang hilang. Ini soal moral yang sudah bangkrut. Duit rakyat yang seharusnya buat mantan kombatan, anak yatim, dan janda korban konflik, malah disikat pejabat yang rakus. Mungkin mereka pikir rakyat Aceh ini terlalu bodoh buat ngeh kalau uangnya dicuri? Atau terlalu lelah buat melawan?
Yang bikin tambah miris, ini bukan kejadian pertama. Setiap ada dana bantuan, selalu ada tikus berdasi yang siap menggigit. Polanya sama: proyek fiktif, anggaran digelembungkan, dan ujung-ujungnya duit mampir ke kantong pribadi. Hukum? Ah, kalau cuma vonis ringan, maling-maling ini bakal ketawa sambil ngopi di warung mahal.
Jangan harap Aceh bisa maju kalau penyakit ini dibiarkan. Pejabat yang maling uang bantuan harus dihukum sekeras-kerasnya. Bongkar semua jaringannya! Siapa saja yang ikut main? Ke mana aliran dananya? Jangan cuma berhenti di dua orang yang ketahuan.
Ini penghinaan. Uang yang seharusnya membantu korban konflik justru dirampok oleh pejabat yang mestinya mengurus mereka. Pejabat yang terlibat harusnya malu—jika masih punya rasa malu!
BRA yang seharusnya didirikan untuk merawat perdamaian, jangan jadi ladang bancakan! Tapi korupsi yang terus berulang membuktikan ada sistem yang sudah rusak dari dalam. Tak cukup hanya menangkap dua orang, hukum harus menelusuri lebih jauh: siapa lagi yang ikut menikmati uang haram ini?
Pemerintah Aceh dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bisa hanya jadi penonton. Jika tak ada tindakan tegas, pesan yang sampai ke publik cuma satu: maling bisa terus melenggang, asal tahu cara berbagi jarahan. Sudah cukup rakyat Aceh jadi korban. Tikus-tikus ini harus disapu bersih, sebelum mereka menggerogoti lebih banyak lagi.
Kalau aparat hukum masih setengah hati, rakyat harus berani bicara. Kita nggak bisa terus-terusan jadi korban. Sudah cukup dihajar perang, jangan biarkan kita dihajar maling-maling yang pura-pura peduli. Kalau mereka masih nekat main kotor, ya sudah, kita kasih satu pesan: rakyat bisa lupa, tapi dosa kalian nggak akan pernah hilang!