Di Aceh, ada satu pertanyaan yang sering muncul: mengapa anak-anak muda kita begitu sulit mendapatkan pekerjaan? Setiap tahun, ribuan lulusan sekolah dan perguruan tinggi dilepas ke dunia kerja, tapi lowongan yang tersedia terasa seperti setetes air di tengah lautan harapan. Mereka yang beruntung bisa mendapatkan pekerjaan layak, sementara yang lain harus puas dengan pekerjaan serabutan atau bahkan menganggur dalam waktu yang lama.
Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat bahwa pada Agustus 2024, **tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 5,75 persen**. Angka ini memang turun dari tahun sebelumnya, tapi tetap menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia. Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian besar dari mereka adalah generasi muda—kelompok yang seharusnya menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Aceh.
Ironisnya, semakin tinggi pendidikan seseorang, tidak selalu berarti semakin mudah mendapatkan pekerjaan. Banyak lulusan perguruan tinggi di Aceh yang justru kesulitan mencari pekerjaan sesuai dengan bidangnya. Ini bukan hanya soal jumlah lapangan kerja yang kurang, tapi juga soal relevansi keterampilan dengan kebutuhan industri.
Lihatlah sektor usaha di Aceh—masih didominasi oleh pertanian, perikanan, dan perdagangan kecil-kecilan. Sementara itu, mayoritas lulusan perguruan tinggi kita justru mengincar pekerjaan di sektor formal atau pemerintahan. Ada ketidakseimbangan antara apa yang diajarkan di bangku kuliah dengan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh dunia kerja.
Pemerintah sudah menjalankan berbagai program untuk menekan angka pengangguran. Pelatihan keterampilan, program wirausaha, hingga proyek padat karya digalakkan. Tapi, apakah ini sudah cukup?
Faktanya, banyak program pelatihan yang hanya bersifat seremonial dan kurang menyentuh akar masalah. Generasi muda Aceh butuh lebih dari sekadar pelatihan singkat; mereka butuh ekosistem yang benar-benar mendukung mereka berkembang. Jika tidak ada jaminan akses modal bagi mereka yang ingin berwirausaha, atau jika regulasi masih mempersulit investasi yang bisa membuka lapangan kerja, maka upaya ini hanya akan berjalan di tempat.
Masalah pengangguran di Aceh bukan sekadar angka statistik. Ini adalah persoalan nyata yang berdampak pada kehidupan ribuan anak muda dan keluarga mereka. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan muncul dampak sosial yang lebih luas—meningkatnya kemiskinan, kriminalitas, hingga migrasi besar-besaran ke luar daerah.
Solusinya tentu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga masyarakat dan sektor swasta. Perguruan tinggi harus lebih adaptif dalam menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan industri. Dunia usaha harus lebih terbuka dalam memberikan kesempatan kerja bagi anak muda lokal. Dan generasi muda sendiri, mereka harus lebih berani berinovasi, melihat peluang di luar zona nyaman, serta membangun kemandirian ekonomi.
Aceh memiliki potensi besar, tapi tanpa generasi muda yang diberdayakan dengan baik, semua itu hanya akan menjadi potensi yang tak tergarap. Kini saatnya berhenti mengeluhkan keadaan dan mulai bergerak bersama. Sebab, masa depan Aceh ada di tangan mereka yang berani mengambil langkah pertama.