Di tengah gulungan ombak dan angin laut yang dingin, mereka terombang-ambing dalam ketidakpastian. Perahu kayu yang mereka tumpangi tak lebih dari sekadar harapan rapuh yang dipertaruhkan demi satu hal: keselamatan. Para pengungsi Rohingya kembali tiba di pesisir Aceh, membawa kisah pengusiran dan penderitaan yang terus berulang.
Sejak November 2023 hingga Februari 2024, gelombang kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh telah terjadi sebanyak 11 kali, dengan total 1.912 orang. Mereka mendarat di beberapa wilayah seperti Pidie, Bireuen, Aceh Timur, Sabang, dan Aceh Besar.
Di daratan, masyarakat Aceh dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, ada dorongan moral untuk membantu sesama manusia. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran yang tak bisa diabaikan: sampai kapan ini akan berlangsung?
Sejarah mengajarkan bahwa pengungsian bukan hanya tentang mereka yang datang, tetapi juga tentang mereka yang pernah pergi. Pada masa konflik di Aceh, sekitar 9.000 warga Aceh pernah mendapatkan perlindungan dari UNHCR.
Di negeri-negeri asing itu, mereka bergantung pada kebaikan orang lain. Sebagian menghadapi penolakan dan kecurigaan, tetapi ada juga tangan-tangan yang terbuka memberi makanan, tempat berteduh, dan—yang paling penting—rasa kemanusiaan.
Kini, sejarah berputar. Aceh bukan lagi pihak yang mencari perlindungan, tetapi yang dititipi amanah untuk melindungi.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, nelayan Aceh menjadi orang pertama yang menolong mereka. Tanpa ragu, mereka membawa para pengungsi ke darat, memberi mereka makanan, pakaian, dan tempat berteduh sementara.
Namun, seiring bertambahnya jumlah pengungsi, muncul tantangan yang semakin besar. Kamp-kamp pengungsian semakin penuh, bantuan semakin sulit didistribusikan, dan gesekan sosial mulai terasa. Masyarakat Aceh yang masih berjuang dengan kondisi ekonomi sendiri bertanya: Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Di sinilah letak dilema terbesar. Aceh dikenal sebagai masyarakat yang berpegang pada nilai kemanusiaan, tetapi tanpa kebijakan yang jelas, penerimaan ini bisa berubah menjadi keresahan.
Pemerintah Indonesia memiliki regulasi terkait pengungsi, tetapi implementasinya masih belum optimal. UNHCR dan IOM hadir memberikan bantuan, tetapi tanpa kejelasan kebijakan, para pengungsi tetap hidup dalam ketidakpastian—tidak bisa bekerja, tidak bisa sekolah, dan tidak memiliki prospek masa depan yang lebih baik.
Masyarakat Aceh tidak menolak membantu, tetapi mereka juga berhak mendapat kepastian. Apa langkah selanjutnya? Bagaimana agar pengungsi tidak hanya menjadi beban, tetapi juga bisa berkontribusi?
Kita butuh solusi yang lebih dari sekadar menampung. Jika para pengungsi ini memang akan tinggal sementara di Aceh, mereka harus memiliki jalur yang lebih jelas untuk hidup mandiri—bukan hanya bergantung pada bantuan.
Aceh telah melewati banyak luka sejarah—konflik, tsunami, kehilangan, dan kebangkitan. Aceh tahu bagaimana rasanya menjadi korban dan bagaimana rasanya menerima uluran tangan dari dunia.
Menolong pengungsi Rohingya bukan hanya soal simpati, tetapi juga soal siapa kita sebagai manusia. Namun, bantuan ini harus dikelola dengan bijak. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan masyarakat untuk menanggung beban ini; harus ada kebijakan konkret untuk memastikan bahwa solidaritas tidak berujung pada ketegangan sosial.
Sejarah akan mencatat bagaimana kita bertindak hari ini. Dan ketika anak-cucu kita membaca kisah ini di masa depan, akankah mereka melihat kita sebagai bangsa yang berani memilih kemanusiaan, atau yang menutup pintu saat ada yang mengetuk dengan penuh harapan?