JAKARTA, LUGAS.CO | Indonesian Climate Justice Literacy (ICJL) mendorong publik untuk menolak konsesi tambang untuk Perguruan Tinggi di Indonesia.
“Publik harus bersuara keras menolak konsesi tambang untuk perguruan tinggi ini, jangan terkecoh dengan argumentasi yang seolah-olah nasionalis,” kata Founder Indonesian Climate Justice Literacy, Firdaus Cahyadi yang dikutip LUGAS.CO, Jum’at (24/1).
Firdaus Cahyadi menyebutkan, gagasan pemberian konsesi tambang untuk perguruan tinggi merupakan salah satu contoh kesesatan berpikir para elite politik dalam melihat persoalan sumber daya alam.
“Elite politik tidak pernah berhenti mempertontonkan kesesatan berpikir dalam substansi pengelolaan sumberdaya alam Indonesia,” kata Firdaus Cahyadi.
Kata Firdaus Cahyadi, revisi Undang Undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba) memunculkan gagasan pemberian konsesi tambang untuk Perguruan Tinggi.
“Alasan membagi konsesi tambang untuk perguruan tinggi bertujuan membantu pendanaan kampus sangat tidak masuk akal sehat, masih banyak cara untuk membantu pendanaan perguruan tinggi diluar bagi-bagi konsesi tambang,” sebut Firdaus Cahyadi.
Pembagian konsesi tambang ke perguruan tinggi, lanjut Firdaus Cahyadi, semakin menegaskan bahwa pembangunan Indonesia kedepan didasarkan pada model pembangunan ekstraktif yang merusak alam.
“Kerusakan alam ini tentu akan menuai perlawanan dari masyarakat, pemberian konsesi tambang ke organisasi massa (ormas) keagamaan dan perguruan tinggi adalah salah satu cara untuk meredam perlawanan masyarakat yang mulai memiliki kesadaran tentang lingkungan hidup,” sebut Firdaus Cahyadi.
Ormas agama yang menerima konsesi tambang, lanjut Firdaus Cahyadi, akan meredam perlawanan masyarakat terhadap tambang yang merusak lingkungan hidup dengan penafsiran sepihak atas teks-teks agama.
“Sementara itu, perguruan tinggi yang menerima konsesi tambang akan memproduksi dalil-dalil yang seolah-oleh ilmiah untuk membenarkan atau menormalisasi kerusakan alam dan sosial akibat tambang,” ujar Firdaus Cahyadi.
Firdaus Cahyadi menambahkan, elite politik yang memberikan konsesi tambang untuk ormas agama dan perguruan tinggi seperti menugaskan kedua institusi yang menjadi simbol moral dan pengetahuan itu untuk membodohi masyarakat terkait daya rusak tambang.
“Alasan nasionalisme bahwa saat ini tambang sebagian besar dikuasai asing juga merupakan alasan yang tak masuk akal. Siapapun yang menguasai tambang, baik asing maupun nasional, tidak bisa menghilangkan daya rusak ekologis dan sosial dari tambang,” tutup Firdaus Cahyadi. ***