JAKARTA, LUGAS.CO – Indonesian Climate Justice Literacy (ICJL) mendorong intelektual kampus, agar bersuara menolak revisi Undang Undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba) oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
“Revisi UU Minerba ditargetkan disetujui pada 18 Februari, jika dibiarkan disahkan tanpa perlawanan, maka tanggal itu akan menjadi tanggal kematian suara kritis kampus,” kata Founder Indonesian Climate Justice Literacy, Firdaus Cahyadi yang dikutip LUGAS.CO, Jum’at (14/2).
Menurut Firdaus Cahyadi, hal itu terjadi, karena revisi UU Minerba sebagai upaya pembungkaman suara kritis kampus, melalui bagi-bagi konsesi tambang bekas.
“Konsesi tambang untuk perguruan tinggi, merupakan salah satu cara untuk mendapatkan pembenaran atas tindakan bunuh diri ekologi pemerintahan Prabowo-Gibran,” sebut Firdaus Cahyadi.
Firdaus Cahyadi menambahkan, para ilmuwan di kampus akan dijadikan sekedar stempel dari kebijakan pemerintah yang merusak alam dan menimbulkan konflik sosial masyarakat.
“Sebelumnya, hal yang sama juga sudah dilakukan pemerintah kepada organisasi massa (ormas) keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah,” tambah Firdaus Cahyadi.
Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, lanjut Firdaus Cahyadi, komitmen pemerintah terhadap lingkungan hidup terus melemah.
“Indikasinya, warisan buruk Presiden Joko Widodo yang membagi-bagi tambang batubara untuk membungkam suara kritis ormas keagamaan, tidak dikoreksi, tetapi justru dilanjutkan dan diperluas untuk perguruan tinggi,” jelas Firdaus Cahyadi.
Firdaus Cahyadi menambahkan, jika komitmen pemerintah terhadap lingkungan hidup terus menurun, maka cepat atau lambat, Indonesia akan memanen bencana.
“Anggota DPR harus menempuh jalan lain dari jalan sesat pemerintah, yang mengarah kepada tindakan bunuh diri ekologi. Revisi UU Minerba, yang memberikan peluang bagi-bagi konsesi tambang untuk membungkam suara kritis perguruan tinggi, harus dihentikan,” seru Firdaus Cahyadi.
Firdaus Cahyadi menambahkan, anggota DPR harus mendengar suara rakyat, bukan menjadi sekedar paduan suara yang hanya bisa bilang setuju terhadap setiap gagasan pemerintah yang membahayakan keberlanjutan alam dan keselamatan warga negara.
“Publik tidak bisa menunggu niat baik anggota DPR. Terkait dengan itulah, intelektual kampus harus mulai bergerak menolak secara lebih keras dan tegas terhadap upaya negara membungkam sikap kritis mereka. Jika perguruan tinggi mendapatkan konsesi tambang, intelektual kampus hanya menjadi sekedar intelektual tukang dan hal itu akan menghancurkan marwah perguruan tinggi,” tutup Firdaus Cahyadi. [rel]