Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili lahir di kota Ghumarah, Maroko pada tahun 1197 dan wafat Humaitsara, Mesir, 1258. Beliau adalah pendiri Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat sufi terkemuka di dunia.
Menurut Imam Asy-Syadzili, jalan tasawuf itu bukanlah jalan menyendiri di gua, kerahiban, meninggalkan tanggung jawab sosial, memakan makanan sisa, tampak miskin menderita, pakaian compang-camping dan sebagainya. Tetapi, jalan sufi adalah jalan kesabaran dan keyakinan dalam petunjuk Ilahi.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran) dan mereka meyakini ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya. (QS As-Sajadah [32]: 24-25).
Imam Asy-Syadzili mengatakan, “Tasawuf ini sungguh mulia, terdapat lima perkara didalamnya, yaitu: sabar, takwa, wara’, yakin dan makrifat. Sabar jika ia disakiti, takwa dengan tidak menyakiti, bersikap wara’ terhadap yang keluar masuk dari sini beliau menunjuk ke mulutnya dan pada hatinya, bahwa tidak menerbos masuk ke dalamnya selain apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta keyakinan terhadap rezeki (yang diberikan Allah) dan bermakrifat terhadap Al-Haqq, yang tidak akan hina seseorang bersamanya, kepada siapa pun dari makhluk.
Baca Juga :
Penting, Inilah Ciri-ciri Mursyid Kamil Mukammil
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, Bersabarlah (Hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah engkau bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS An-Nahl [16]: 127-128).
Orang yang berakal adalah orang yang mengenal Allah, apa-apa yang Dia kehendaki atasnya dan apa yang berasal darinya secara syariat. Dan hal yang Allah inginkan dari seorang hamba adalah empat perkara: adakalanya berupa nikmat atau cobaan, ketaatan atau kemaksiatan.
Jika kau berada dalam kenikmatan, maka Allah menuntutmu untuk bersyukur secara syariat. Jika Allah menghendaki cobaan bagimu, maka Dia menuntutmu untuk bersabar secara syariat.
Sumber: Durrat Al-Asrar wa Tuhfat Al-Abrar (Jatman)