Perekonomian Aceh memasuki tahun 2025 dengan berbagai indikator yang memerlukan perhatian serius. Meskipun data menunjukkan adanya pertumbuhan, realitas di lapangan mengindikasikan tantangan yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi year on year (y-on-y) di Provinsi Aceh sebesar 0,41 persen pada Februari 2025, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) mencapai 106,56. Kota Lhokseumawe mengalami inflasi tertinggi sebesar 1,32 persen, sementara Kabupaten Aceh Tengah justru mencatat deflasi sebesar 0,12 persen.
Sektor pertanian tetap menjadi tulang punggung perekonomian Aceh, memberikan kontribusi sebesar 29,74 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Namun, sektor ini menghadapi tantangan serius, termasuk penurunan luas panen padi dan produksi beras dalam tiga tahun terakhir di beberapa kabupaten/kota lumbung padi.
Di sisi lain, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh tetap optimis bahwa perekonomian Aceh akan tumbuh positif pada tahun 2025, meskipun sedikit melambat akibat terbatasnya proyek strategis nasional baru dan kebijakan efisiensi anggaran.
Ekonom menyarankan agar Aceh fokus pada sektor pertanian dan perikanan dalam menghadapi efisiensi anggaran, mengingat dana otonomi khusus (otsus) Aceh tahun 2025 mengalami penurunan sebesar Rp156 miliar dari yang semula ditetapkan dalam APBN.
Untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, pemerintah Aceh perlu mengambil langkah strategis. Diversifikasi ekonomi, penguatan sektor pertanian dan perikanan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini. Tanpa upaya konkret, pertumbuhan ekonomi yang dicapai hanya akan menjadi angka tanpa makna bagi kesejahteraan rakyat Aceh.
Pemerintah terus berbicara soal investasi, proyek infrastruktur, dan bantuan sosial. Namun, rakyat kecil—petani, nelayan, buruh—masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Mereka berhadapan dengan harga pangan yang berfluktuasi, akses modal yang terbatas, serta regulasi yang sering kali tidak berpihak.
Pemerintah Aceh harus mulai berpikir lebih strategis. Ketergantungan pada dana otonomi khusus tidak bisa terus berlanjut. Diversifikasi ekonomi mutlak dilakukan. Sektor pertanian dan perikanan, yang menjadi tulang punggung banyak masyarakat, perlu didukung dengan kebijakan yang konkret.
Jika pemerintah serius ingin membangun ekonomi Aceh, mereka harus memastikan pertumbuhan ekonomi bukan sekadar angka, tetapi benar-benar dirasakan oleh rakyat. Bukan hanya membangun proyek-proyek besar, tetapi juga menciptakan lapangan kerja, memperkuat UMKM, dan menstabilkan harga kebutuhan pokok.
Rakyat Aceh tidak butuh retorika. Mereka butuh perubahan nyata.